
Menengok Kemolekan Situs Warisan Dunia Laut Cortez Meksiko
Teluk California dan Cancun: Dua Sisi Kontras Keindahan dan Ancaman di Meksiko
Teluk California, yang juga dikenal sebagai Laut Cortez, adalah permata alam Meksiko yang telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Kawasan ini tak hanya menawan secara visual, tetapi juga kaya akan keanekaragaman hayati. Namun, pada 30 Juni lalu, Komite Warisan Dunia memutuskan untuk memasukkannya ke dalam Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya. Keputusan ini muncul karena meningkatnya kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup spesies vaquita, sejenis lumba-lumba langka yang hanya ditemukan di perairan ini.
Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya dibuat untuk menarik perhatian dunia terhadap situs-situs penting yang tengah terancam—baik karena konflik, eksploitasi berlebihan, polusi, maupun bencana alam. Teluk California adalah rumah bagi lebih dari 690 jenis tumbuhan vaskular dan hampir 900 spesies ikan, termasuk 90 spesies endemik. Kawasan ini juga menjadi habitat bagi 39 persen spesies mamalia laut dunia dan sekitar sepertiga spesies cetacea global.
Baca Juga: Laut Adriatik: Permata Biru di Jantung Eropa Selatan
Namun, keindahan lanskap pulau-pulau berbatu dengan tebing tinggi yang menghadap laut berwarna pirus ini berbanding terbalik dengan situasi sosial-politik yang terjadi di bagian lain Meksiko.
Di sisi lain, Cancun—ikon pariwisata Meksiko—menghadapi persoalan serius. Di balik slot server jepang pantai putihnya yang eksotis dan lautan biru yang memukau, kota ini dilanda gelombang kekerasan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2017 saja, tercatat lebih dari 160 kasus pembunuhan, meningkat drastis akibat konflik antarkartel narkoba dan maraknya pemerasan.
Krishnan Guru-Murthy, seorang jurnalis asal Inggris, menyelidiki langsung kondisi Cancun dan menemukan bahwa pembunuhan sering terjadi secara tiba-tiba dan brutal, namun tidak direspons secara efektif oleh aparat keamanan. Pengawasan yang lemah, korupsi di tubuh pemerintah, dan tekanan untuk menutupi kekerasan demi menjaga citra wisata menjadi akar persoalan.
Kondisi ini memperlihatkan ironi: di satu sisi, Meksiko menyimpan surga ekologi berharga, namun di sisi lain, krisis sosial dan keamanan membayangi sektor pariwisatanya. Pemerintah diharapkan tidak hanya menjaga alamnya, tapi juga memberikan rasa aman bagi masyarakat dan wisatawan.

Laut Adriatik: Permata Biru di Jantung Eropa Selatan
Laut Adriatik adalah salah satu laut paling memikat dan eksotis di kawasan Eropa, membentang di antara Semenanjung Italia di barat dan negara-negara Balkan seperti Kroasia, Montenegro, dan Albania di timur. Terhubung dengan Laut Mediterania, Laut Adriatik terkenal akan airnya yang biru jernih, garis pantai yang dramatis, serta kehidupan laut yang kaya dan beragam. Tidak hanya menjadi tujuan wisata favorit, laut ini juga menyimpan sejarah panjang peradaban, perdagangan, dan peperangan yang membentuk karakter kawasan sekitarnya.
Keindahan Laut Adriatik begitu menonjol di sepanjang pesisir Dalmatian Kroasia. Kota-kota seperti Dubrovnik, Split, dan Zadar berdiri megah di tepi laut, dengan bangunan batu kuno yang menghadap langsung ke air biru berkilau. Pulau-pulau kecil yang tersebar di lautan ini menawarkan pemandangan spektakuler berupa tebing kapur putih, pantai berbatu yang bersih, serta teluk tersembunyi yang tenang. Lautnya yang tenang dan bersih membuat kawasan ini sangat populer untuk kegiatan berenang, snorkeling, menyelam, hingga pelayaran santai dengan kapal layar.
Kejernihan air Laut Adriatik menjadi salah satu daya tarik utama. Visibilitas bawah laut yang tinggi memungkinkan para penyelam menikmati pemandangan terumbu karang, gua bawah laut, dan bangkai kapal bersejarah yang tersembunyi di dasar laut. Spesies laut seperti gurita, ikan kerapu, dan bintang laut hidup subur di perairan ini. Bagi para fotografer bawah laut, Laut Adriatik menawarkan lanskap akuatik yang memesona, mulai dari padang lamun yang bergoyang hingga batu-batu besar yang menjadi rumah bagi biota laut.
Selain keindahan alam, Laut Adriatik juga menjadi saksi bisu dari sejarah panjang bangsa-bangsa Eropa. Pelabuhan-pelabuhan penting di sepanjang garis pantainya pernah menjadi pusat perdagangan utama sejak zaman Romawi dan Venesia. Banyak reruntuhan kota kuno yang bisa ditemukan tidak jauh dari pesisir, memperlihatkan bagaimana laut ini menjadi urat nadi perdagangan dan pertukaran budaya selama berabad-abad. Bahkan kini, pengaruh sejarah itu masih hidup dalam arsitektur kota, tradisi pelayaran, dan festival laut yang dirayakan oleh masyarakat setempat.
Tidak hanya wisata alam dan sejarah, Laut Adriatik juga mendukung perekonomian kawasan melalui sektor perikanan dan transportasi laut. Ikan tuna, sarden, dan kerang menjadi komoditas penting bagi nelayan lokal. Pelabuhan modern di negara-negara seperti Italia, Slovenia, dan Kroasia menjadi pintu masuk barang dan penumpang dari berbagai penjuru Eropa dan dunia. Seiring berkembangnya industri pariwisata, kawasan pesisir Laut Adriatik juga melihat pertumbuhan hotel, restoran, dan marina yang menyatu dengan keindahan alamnya.
Laut Adriatik memiliki karakter yang unik dibandingkan dengan bagian lain dari Mediterania. Karena bentuknya yang memanjang dan relatif tertutup, laut ini memiliki arus yang tenang dan suhu yang nyaman untuk berenang hampir sepanjang tahun. Ini menjadikannya destinasi sempurna bagi wisata keluarga maupun petualangan solo. Banyak pengunjung yang memilih menjelajah dengan kapal sewaan, berkeliling dari satu pulau ke slot jepang gacor pulau lainnya, menikmati makanan laut segar, dan menyaksikan matahari terbenam di cakrawala air biru yang memukau.
Negara-negara di sekitar Laut Adriatik juga menjaga kelestarian lingkungan laut ini dengan serius. Kawasan taman laut dan cagar alam laut dibentuk untuk melindungi ekosistem yang rapuh, sementara berbagai program edukasi dijalankan untuk meningkatkan kesadaran wisatawan terhadap pentingnya menjaga kebersihan laut. Ini penting karena tekanan dari pariwisata, pembangunan pantai, dan perubahan iklim terus menjadi ancaman yang harus dikelola dengan bijak.
Dalam beberapa tahun terakhir, Laut Adriatik semakin dilirik oleh wisatawan global yang mencari alternatif dari destinasi Mediterania yang sudah terlalu ramai seperti Prancis atau Spanyol. Keaslian budaya lokal, keramahan penduduk, dan keindahan alam yang masih terjaga menjadikan laut ini sebagai salah satu harta terindah di benua Eropa. Turis yang datang ke sini tidak hanya membawa pulang foto-foto menawan, tapi juga pengalaman emosional tentang ketenangan, keindahan, dan kedekatan dengan alam yang jarang ditemukan di tempat lain.
Laut Adriatik adalah cermin dari harmoni antara manusia dan alam. Di tengah dunia yang serba cepat dan sibuk, laut ini menawarkan keheningan dan keindahan yang abadi. Ia bukan sekadar perairan yang memisahkan daratan, tapi lautan yang menyatukan budaya, sejarah, dan rasa kagum terhadap keagungan alam. Tak heran jika banyak orang yang kembali ke Laut Adriatik lagi dan lagi, seakan laut ini menyimpan magnet tak terlihat yang selalu mengundang untuk dijelajahi lebih dalam.
BACA JUGA: Kenapa Kita Tidak Boleh Menggunakan Baju Hijau di Laut Selatan?

Kenapa Kita Tidak Boleh Menggunakan Baju Hijau di Laut Selatan?
Larangan memakai baju hijau di kawasan Laut Selatan, terutama di Pantai Parangtritis atau Pantai Selatan Jawa, bukan sekadar mitos biasa. Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang tinggal di wilayah pesisir selatan, hal ini berakar kuat dalam budaya, kepercayaan, dan cerita turun-temurun yang dipercaya sejak ratusan tahun lalu. Meski tak sedikit yang menganggapnya tak lebih dari kepercayaan lokal, larangan ini tetap dijunjung dan dihormati oleh banyak orang hingga kini.
Larangan tersebut berhubungan erat dengan sosok legendaris dalam budaya Jawa, yaitu Nyi Roro Kidul, sang Ratu Pantai Selatan. Dalam berbagai kisah, Nyi Roro Kidul digambarkan sebagai penguasa alam gaib laut selatan yang memiliki kekuasaan besar dan dihormati oleh banyak kalangan, termasuk para raja Mataram di masa lalu. Ia kerap digambarkan mengenakan kebaya hijau, dan warna hijau dipercaya sebagai warna kesukaan atau warna sakral milik sang Ratu.
Masyarakat meyakini bahwa mengenakan pakaian berwarna hijau di Laut Selatan sama saja dengan “menantang” atau “menarik perhatian” Nyi Roro Kidul. Konon, orang yang melanggar larangan ini berisiko mengalami hal buruk, mulai dari terseret ombak, hilang di laut, atau bahkan “diambil” oleh sang Ratu ke alam gaib. Oleh karena itu, warna hijau di pantai selatan bukan hanya dianggap pantangan, tapi juga bentuk rasa hormat terhadap kekuatan alam dan budaya lokal.
Dari sudut pandang budaya, larangan ini merupakan slot qris 5k bagian dari kearifan lokal masyarakat pesisir selatan yang menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Cerita-cerita gaib seputar Nyi Roro Kidul dan larangan berpakaian hijau bisa dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap keselamatan manusia, terutama mengingat ganasnya ombak Laut Selatan. Dengan ombak besar dan arus bawah laut yang kuat, pantai-pantai selatan memang dikenal berbahaya. Mitos ini secara tidak langsung mengingatkan orang untuk berhati-hati dan tidak sembarangan saat berada di laut.
Di sisi lain, dari perspektif modern, larangan ini juga sering dijadikan bahan diskusi antara budaya dan sains. Beberapa orang mencoba menjelaskan secara logis bahwa warna hijau, terutama jika menyerupai warna air laut, bisa membuat seseorang lebih sulit terlihat jika terseret ombak atau tenggelam. Namun, kepercayaan budaya tetap menjadi alasan utama kenapa larangan ini terus dipatuhi.
Meski zaman sudah berubah, larangan mengenakan baju hijau di pantai selatan tetap hidup sebagai bagian dari warisan budaya yang kaya makna. Bagi wisatawan atau siapa pun yang berkunjung ke wilayah tersebut, menghormati kepercayaan lokal adalah bentuk etika sosial dan penghargaan terhadap tradisi setempat.
Akhirnya, memakai atau tidak memakai baju hijau mungkin terlihat sepele. Namun dalam konteks budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa, itu adalah simbol penghormatan terhadap kekuatan alam, leluhur, dan nilai-nilai yang menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata.
BACA JUGA: Laut Sunda Kelapa: Saksi Sejarah dan Jantung Maritim Jakarta